Di era media sosial yang terkurasi sempurna, dengan deretan produk, layanan, dan orang baru yang tak ada habisnya, sulit untuk berhenti sejenak dan menghargai apa yang kita miliki. Bagaimana kita bisa merasa puas jika terus-menerus menginginkan sesuatu yang tampaknya tak terjangkau? Mungkin ideologi tradisional Jepang, "Wabi-Sabi", dapat memberikan pandangan baru. Konsep "Wabi-Sabi" mencakup banyak hal, mulai dari estetika hingga kuil, taman klasik, dan keramik. Namun, untuk saat ini, mari kita anggap "Wabi-Sabi" sebagai lensa yang dapat membantu kita lebih fokus dan menghargai kehidupan sehari-hari.
APA ITU WABI-SABI?

Image by iStock: BighCircle
Jika Anda pernah mendengar istilah "Wabi-Sabi", kemungkinan besar itu berkaitan dengan estetika Jepang. Salah satu contoh yang populer adalah "Kintsugi", seni memperbaiki tembikar yang retak dengan pernis berlapis emas. Teknik ini merayakan usia dan kerusakan, alih-alih menyembunyikan ketidaksempurnaan. Awalnya, "wabi" dan "sabi" adalah dua konsep yang terpisah, keduanya berasal dari cara menggambarkan kesepian hidup di alam terbuka. - 侘 (wabi): Istilah ini digunakan untuk mengekspresikan penghargaan terhadap keindahan dalam kesederhanaan yang elegan dan bersahaja. - 寂 (sabi): Dahulu, "sabi" menggambarkan pengaruh waktu terhadap kemerosotan, seperti pergantian musim atau halaman buku antik yang menua. Keindahan terletak pada ketidakkekalan dan penuaan. Bersama-sama, kedua konsep ini menciptakan pandangan yang lebih holistik tentang kehidupan yang sederhana namun tak kekal. Wabi-Sabi dalam Pandangan Arsitektur dan Filosofi Arsitek terkenal Jepang, Tadao Ando, menggambarkan "wabi-sabi" dalam bukunya The Wabi-Sabi House: The Japanese Art of Imperfect Beauty sebagai estetika sederhana yang semakin kuat dengan mengurangi hal-hal yang tidak penting. Leonard Koen, dalam bukunya Wabi-Sabi: untuk Seniman, Desainer, Penyair & Filsuf, menjelaskan bahwa "Wabi-Sabi" adalah keindahan dalam hal-hal yang tidak sempurna, tidak kekal, dan tidak lengkap—sebuah antitesis dari gagasan klasik Barat yang melihat keindahan sebagai sesuatu yang sempurna, abadi, dan monumental. Meskipun ada banyak interpretasi mengenai *wabi-sabi*, tidak ada catatan resmi tentang filosofi ini. Ajaran *wabi-sabi* diwariskan secara tidak langsung, dari guru ke murid, sehingga maknanya terus berkembang.
WABI-SABI DAN BUDDHISME

Image by iStock: Gyro
Jika kita menelusuri akar *wabi-sabi*, kita akan menemukan kaitannya dengan ajaran Buddha, terutama tentang "Tiga Tanda Keberadaan" (sanboin), yang mencakup: 1. Merangkul Ketidakkekalan: Penerimaan bahwa segala sesuatu berubah seiring berjalannya waktu, dan keindahannya muncul dari ketidakkekalan itu. Peringatan seperti festival bunga sakura (hanami) dan dedaunan musim gugur (koyo) di Jepang adalah contoh bagaimana ketidakkekalan dirayakan. 2. Menderita: Ketidakkekalan adalah bagian dari hidup kita yang terus berkembang. Meskipun sering menyakitkan, penderitaan dapat menuntun pada pertumbuhan dan pemahaman yang lebih dalam tentang kehidupan. 3. Ketidakhadiran Diri: Seperti segala sesuatu yang ada di sekitar kita, kita juga terus berubah. Menerima ketidakkekalan ini adalah bagian dari kesadaran diri yang lebih dalam.
MENERAPKAN WABI-SABI KE DALAM POLA PIKIR KESEHARIAN

Image by iStock: AH86
Sama seperti kebangkitan "Ikigai" di masyarakat kontemporer, elemen-elemen "Wabi-Sabi" dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Banyak dari kita hidup dengan rasa kerinduan dan ketidakpuasan, terjebak dalam usaha mencapai kesempurnaan yang sulit dicapai. Media sosial sering kali membuat kita membandingkan diri dengan orang lain, mengalihkan perhatian dari hal-hal positif yang kita miliki. Di Rumah Dalam beberapa tahun terakhir, "Wabi-Sabi" telah menjadi sumber inspirasi bagi desain interior. Ini bukan tentang kesederhanaan yang dingin, tetapi tentang keseimbangan antara minimalisme dan penghargaan terhadap benda-benda yang ada. Alih-alih membeli barang-barang baru yang cepat rusak, "Wabi-Sabi" mengajak kita untuk berinvestasi pada barang yang bertahan lama dan berkembang seiring waktu—seperti meja tua yang diwariskan dari generasi ke generasi, dengan setiap goresan menambah cerita di dalamnya. Di Dapur Memasak bisa menjadi pengalaman meditatif yang penuh perhatian. Wabi-sabi mengajarkan kita untuk tidak mengutamakan kesempurnaan dalam penyajian, melainkan untuk menghargai cerita dan perhatian yang ada di balik setiap hidangan. Sederhana seperti menikmati apel yang segar atau ubi jalar panggang, kita diajak untuk menghargai makanan dalam kesederhanaannya. Di Tempat Kerja Tempat kerja sering kali dipenuhi dengan tekanan dan tenggat waktu. Alih-alih berusaha menyelesaikan banyak tugas sekaligus, coba terapkan prinsip "Wabi-Sabi" untuk fokus pada satu hal saja. Nikmati prosesnya, dan beri diri Anda waktu untuk beristirahat sejenak. Anda akan terkejut betapa produktifnya Anda saat memberi perhatian penuh pada pekerjaan yang ada. Di Dunia Kecantikan Dalam dunia kecantikan, *wabi-sabi* mengajak kita untuk menerima ketidaksempurnaan tubuh kita. Daripada stres memikirkan kerutan atau bekas luka, kita bisa menghargainya sebagai bagian dari cerita hidup kita. Keindahan tidak selalu terletak pada kesempurnaan, tetapi pada penerimaan terhadap diri sendiri yang terus berkembang. Kesimpulan "Wabi-Sabi" mengajarkan kita untuk menghargai apa yang kita miliki dan menerima ketidaksempurnaan sebagai bagian dari keindahan hidup. Ini adalah ajakan untuk hidup dengan lebih sadar, menghargai momen, dan menemukan kepuasan dalam kesederhanaan. Dalam dunia yang penuh dengan pesan tentang keinginan untuk lebih, "Wabi-Sabi" menawarkan jalan untuk berhenti sejenak, menghargai yang ada, dan menemukan keindahan dalam ketidakkekalan.