Tren Rumah Akiya Jepang
Fenomena rumah terbengkalai, atau yang dikenal sebagai akiya dalam bahasa Jepang, semakin menjadi sorotan di wilayah pedesaan Jepang. Menurut survei terbaru pada tahun 2018, jumlah akiya mencapai 8,5 juta, dengan proyeksi dari Nomura Research Institute (NRI) memperkirakan akan melebihi 30% dari total rumah di Jepang pada tahun 2033.

Penyebab dari melonjaknya fenomena masif ini ternyata sangat beragam. Salah satunya adalah urbanisasi yang mengakibatkan banyaknya penduduk yang bermigrasi ke kota, menyisakan rumah kosong di pedesaan. Ditambah dengan penurunan populasi, terutama di pedesaan, menjadikan fenomena ini semakin banyak terjadi. Fakta bahwa populasi Jepang menurun dan tingkat kesuburan yang menurun selama bertahun-tahun menjadi salah satu faktor utama pendorong fenomena ini.

Namun, meskipun warga Jepang kurang berminat untuk membeli akiya, minat orang asing terhadap properti ini justru semakin meningkat. Pasangan suami istri asal Inggris, Jaya Thursfield dan Chihiro, serta Take Kurosawa dan Joey Stockermans menjadi contoh orang asing yang membeli akiya dengan harga terjangkau. Natasha Durie, mahasiswa S3 dari School of Anthropology and Museum Etnography di Oxford University yang melakukan penelitian di Gifu, Jepang, mengungkapkan bahwa banyak warga lokal bahkan tidak menyadari minat orang asing terhadap akiya. Hal ini tentu saja dikarenakan membeli rumah akiya lebih murah dibandingkan membeli properti di negara asal mereka.

Namun ternyata, membeli properti terbengkalai ini juga bukan tanpa tantangan. Tantangan dalam membeli akiya juga cukup banyak dan signifikan. Rumah terbengkalai sering memerlukan renovasi besar-besaran, yang membuat biaya pembelian total juga sangat tinggi secara keseluruhan. Rumah yang dijual murah ini dapat dilihat dari kondisinya yang buruk dan berpotensi direnovasi besar-besaran (Apalagi jika harga rumah dibawah US$ 15 atau setara dengan Rp 225 ribu). Perumahan Jepang secara tradisional terbuat dari kayu sehingga hal pertama yang perlu diperiksa adalah adakah rayap ataupun kerusakan struktural lainnya. Selain itu, faktor keamanan juga menjadi perhatian utama, mengingat sebagian besar akiya adalah bangunan lama dan dibangun sebelum peraturan ketahanan gempa diperketat.

Kebijakan pemerintah seperti insentif pajak dan kredit pemilikan rumah, harus ikut menjadi bahan pertimbangan dalam membeli properti. Biaya pajak meliputi pajak pendaftaran pada setiap properti dan pajak akuisisi properti, biaya administrasi dan manajemen, serta pajak properti tahunan biasa. Biaya tersebut tergantung kasus namun perlu diperhatikan bahwa biayanya saja dapat dikenakan US$ 4.000 atau setara dengan Rp 60 Juta.

Terakhir, ada juga syarat-syarat tertentu dalam kontrak pembelian akiya yang perlu diperhatikan, contohnya persyaratan untuk tinggal secara permanen di rumah tersebut, sehingga hal ini tentu saja tidak cocok bagi pelajar dan turis yang berencana menjadikan rumah liburan. Dengan berbagai faktor yang terlibat, fenomena munculnnya rumah-rumah terbengkalai di Jepang menjadi gambaran kompleks tentang perubahan demografis, urbanisasi, dan kebijakan perumahan di negara tersebut.

akiya
Rumah Akiya
Image by StuckPixels (Getty Images)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Follow IG kami untuk update tercepat!

X
× How can I help you?