Jepang berencana menjadikan energi terbarukan sebagai sumber utama energi pada tahun 2040, seiring dengan upayanya untuk mencapai netralitas karbon pada pertengahan abad. Rencana ini diumumkan oleh pemerintah pada hari Selasa dan bertujuan untuk mengurangi ketergantungan negara tersebut pada energi fosil, yang masih mendominasi bauran energi Jepang. Sebagai bagian dari strategi tersebut, Jepang menargetkan energi terbarukan, seperti tenaga surya dan angin, untuk menyumbang antara 40 hingga 50 persen dari total pembangkitan listrik pada tahun 2040, sebuah lonjakan signifikan dari 23 persen pada tahun lalu.
Salah satu alasan penting di balik peralihan ini adalah untuk memenuhi permintaan energi yang terus meningkat, terutama dari industri teknologi seperti pabrik kecerdasan buatan dan mikrochip. Meskipun ada peningkatan dalam penggunaan energi terbarukan, pemerintah Jepang juga menegaskan kembali komitmennya untuk mempertahankan tenaga nuklir sebagai bagian dari solusi energi. Setelah bencana Fukushima pada 2011, Jepang sempat menghentikan pembangkit nuklirnya, namun kini secara bertahap kembali menggunakannya untuk mendiversifikasi sumber daya energi. Nuklir diharapkan akan memenuhi sekitar 20 persen dari kebutuhan energi Jepang pada tahun 2040, lebih dari dua kali lipat dari kontribusi nuklir pada tahun 2023 yang hanya sebesar 8,5 persen.
Pada saat yang sama, Jepang berupaya untuk mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil, yang pada tahun 2023 masih menyumbang hampir 70 persen dari total pembangkitan listrik. Pemerintah menargetkan pengurangan angka tersebut menjadi 30 hingga 40 persen pada tahun 2040. Langkah ini diharapkan dapat membantu Jepang mengurangi ketergantungan pada impor energi, yang pada 2023 menelan biaya sekitar $500 juta per hari. Rencana ini juga bertujuan untuk memastikan pasokan energi yang stabil dan mendukung proses dekarbonisasi negara tersebut, yang merupakan bagian dari komitmennya untuk menjadi netral karbon pada tahun 2050.
Namun, peralihan energi ini tidak bebas tantangan. Meskipun pemerintah Jepang menargetkan peningkatan penggunaan energi terbarukan, para aktivis lingkungan merasa bahwa langkah tersebut tidak cukup ambisius. Mereka berpendapat bahwa Jepang perlu mempercepat transisi ke energi bersih dengan target yang lebih tinggi dan lebih cepat. Greenpeace, misalnya, mengkritik rencana pemerintah yang dianggapnya terlambat dan tidak mencerminkan urgensi perubahan iklim. Menurut Greenpeace, Jepang harus lebih berani dalam mengadopsi energi terbarukan, yang bisa mencapai 60 hingga 80 persen dari total pembangkitan listrik jika kebijakan yang mendukung diberlakukan.
Selain itu, Jepang juga menghadapi tantangan dari ketegangan geopolitik yang memengaruhi pasokan energi global, seperti perang Ukraina dan ketegangan di Timur Tengah. Faktor-faktor ini semakin mendesak Jepang untuk meningkatkan ketahanan energi nasionalnya dengan memperluas penggunaan energi terbarukan dan nuklir. Rencana baru ini juga mencerminkan keinginan Jepang untuk memastikan bahwa sumber daya energi yang dimiliki negara tersebut tidak bergantung pada satu jenis sumber saja, guna menjaga keberlanjutan dan stabilitas pasokan energi dalam jangka panjang.
Meskipun ada kritik terhadap lambatnya langkah Jepang dalam transisi energi, sejumlah ahli energi percaya bahwa dengan kebijakan yang lebih mendukung, Jepang bisa mencapai tujuan yang lebih ambisius. Skema energi yang lebih beragam dan penggunaan teknologi baru seperti hidrogen dan amonia juga dapat mendukung transformasi sistem tenaga listrik Jepang. Untuk mencapai tujuan dekarbonisasi penuh pada tahun 2035, Jepang perlu mempercepat pengembangan energi terbarukan dan lebih mengurangi ketergantungan pada energi fosil.