Kebijakan empat hari kerja yang mulai diterapkan di Tokyo pada April mendatang merupakan upaya penting untuk mendukung keluarga dan mengurangi beban kerja orang tua di Jepang. Pemerintah Metropolitan Tokyo berencana memberlakukan sistem kerja empat hari seminggu bagi lebih dari 160.000 pegawai negeri, memberikan tiga hari libur setiap minggu. Kebijakan ini diharapkan dapat membantu mengatasi masalah penurunan angka kelahiran di Jepang yang semakin mengkhawatirkan. Gubernur Tokyo, Yuriko Koike, menekankan bahwa tujuan utama dari kebijakan ini adalah menciptakan lingkungan kerja yang fleksibel, sehingga perempuan tidak perlu memilih antara karier dan kehidupan keluarga.
Koike juga menyatakan, “Kami akan terus meninjau gaya kerja untuk memastikan bahwa perempuan tidak harus mengorbankan karier mereka karena peristiwa kehidupan seperti melahirkan atau mengasuh anak.” Melalui kebijakan ini, diharapkan perempuan dapat tetap berkarier sambil merawat keluarga, tanpa harus menghadapi beban yang berlebihan. Kebijakan ini merupakan bagian dari upaya untuk menciptakan keseimbangan antara pekerjaan dan kehidupan pribadi, yang sangat dibutuhkan dalam masyarakat Jepang yang semakin terdesak oleh masalah demografi.
Selain memperkenalkan minggu kerja yang lebih pendek, pemerintah Tokyo juga memberikan opsi bagi pegawai negeri yang memiliki anak di kelas satu hingga tiga sekolah dasar untuk mempersingkat jam kerja mereka hingga dua jam per hari. Meskipun pengurangan jam kerja ini dapat mempengaruhi gaji mereka, kebijakan tersebut memberi kesempatan bagi orang tua untuk lebih banyak menghabiskan waktu dengan keluarga tanpa harus meninggalkan pekerjaan sepenuhnya. Dengan cara ini, orang tua, terutama ibu bekerja, dapat merasakan manfaat yang lebih besar dalam hal waktu bersama anak-anak mereka, yang diharapkan dapat mengurangi tekanan dalam mengasuh anak.
Jepang menghadapi krisis demografis yang semakin mendalam, dengan tingkat kesuburan yang terus menurun. Pada 2023, angka kesuburan Jepang tercatat hanya 1,2, jauh di bawah tingkat penggantian populasi global yang seharusnya 2,1. Selain itu, jumlah kelahiran pun terus menurun, dengan hanya 758.631 bayi yang lahir pada tahun lalu, mencatatkan penurunan selama delapan tahun berturut-turut. Hal ini membuat para pemimpin Jepang, termasuk mantan Perdana Menteri Fumio Kishida, menganggap krisis ini sebagai masalah terbesar yang dihadapi negara tersebut.
Untuk mengatasi masalah tersebut, pemerintah Jepang telah mengalokasikan dana besar untuk berbagai program yang mendukung keluarga, seperti memperluas layanan penitipan anak, mempromosikan pembekuan sel telur, dan bahkan mengembangkan aplikasi kencan untuk mencocokkan pasangan berdasarkan pendapatan dan keinginan untuk menikah. Meskipun demikian, kebijakan-kebijakan tersebut belum cukup untuk membalikkan tren penurunan angka kelahiran secara signifikan, sehingga langkah-langkah lebih besar, seperti kebijakan empat hari kerja ini, mulai diperkenalkan untuk memberikan dorongan tambahan.
Di kawasan Asia Timur, Jepang bukanlah satu-satunya negara yang menghadapi krisis angka kelahiran yang rendah. Negara tetangga Korea Selatan juga telah menawarkan berbagai insentif finansial kepada pasangan baru dan bahkan memberikan subsidi untuk membalikkan vasektomi. Program-program ini merupakan bagian dari upaya yang lebih luas untuk menstabilkan angka kelahiran di kawasan ini. Kebijakan empat hari kerja yang diterapkan di Tokyo menjadi salah satu langkah paling ambisius yang diambil untuk mendukung keluarga. Dengan memberikan lebih banyak waktu untuk keluarga, diharapkan langkah ini dapat meringankan beban orang tua dan menciptakan lingkungan yang lebih kondusif bagi keluarga muda untuk memiliki lebih banyak anak. Apakah kebijakan ini cukup untuk membalikkan tren penurunan angka kelahiran Jepang? Hanya waktu yang akan menjawab, namun kebijakan ini jelas merupakan langkah signifikan menuju keseimbangan yang lebih baik antara kehidupan kerja dan keluarga.