Jepang Kembali Gunakan Romaji?
image

Image by Google

TOKYO — Jika Anda pernah belajar bahasa Jepang atau berkunjung ke Jepang, Anda mungkin pernah menjumpai romaji sistem penulisan yang menggunakan alfabet Latin untuk menuliskan bunyi-bunyi dalam bahasa Jepang. Romaji sering digunakan di rambu jalan, peta, stasiun kereta, dan buku pelajaran bahasa Jepang untuk orang asing. Namun, tidak semua romaji sama. Anda mungkin pernah melihat kata yang sama dieja sebagai "shi", "si", atau bahkan dengan cara lain, tergantung pada sistem yang digunakan. Romaji (ローマ字) berarti “huruf Romawi,” dan meskipun bukan merupakan sistem penulisan utama seperti hiragana, katakana, atau kanji, romaji berperan penting sebagai jembatan bagi pelajar dan wisatawan asing yang belum bisa membaca karakter Jepang. Ada beberapa sistem romaji yang berbeda, namun dua yang paling dikenal adalah Kunrei-shiki dan Hepburn. Kini, setelah 70 tahun, pemerintah Jepang tengah mempertimbangkan untuk mengganti sistem resmi dari Kunrei-shiki ke Hepburn langkah yang bisa membawa dampak besar bagi pendidikan dan komunikasi lintas budaya.

image

Image by Google

Sistem Hepburn pertama kali dikembangkan oleh misionaris Amerika, James Curtis Hepburn, pada tahun 1867. Sistem ini dirancang agar mudah dipahami oleh penutur bahasa Inggris, dengan menuliskan bunyi seperti し, ち, dan つ sebagai “shi,” “chi,” dan “tsu.” Sistem ini lebih mencerminkan cara bunyi diucapkan dalam bahasa Jepang, sehingga dianggap lebih ramah bagi pelajar dan wisatawan asing. Sebaliknya, sistem Kunrei-shiki, yang diadopsi secara resmi oleh pemerintah Jepang pada tahun 1937, menyusun ejaan berdasarkan struktur fonetik dalam bahasa Jepang, bukan berdasarkan pelafalan bahasa asing. Dalam sistem ini, bunyi し ditulis sebagai “si”, ち sebagai “ti”, dan つ sebagai “tu.” Meskipun lebih logis secara linguistik bagi penutur asli, sistem ini sering kali membingungkan bagi orang asing yang terbiasa dengan ejaan bahasa Inggris.

image

Image by Google

Seiring waktu, meskipun Kunrei-shiki tetap menjadi sistem yang diajarkan di sekolah, penggunaan sehari-hari di Jepang seperti pada papan petunjuk, peta, dan tempat wisata justru didominasi oleh Hepburn. Bahkan banyak orang Jepang sendiri lebih terbiasa menggunakan Hepburn dalam kehidupan sehari-hari. Perbedaan antara kebijakan resmi dan praktik nyata inilah yang mendorong Badan Urusan Kebudayaan Jepang untuk meninjau kembali sistem romanisasi yang digunakan secara nasional. Jika rencana perubahan ini diterapkan, maka sistem Hepburn akan menjadi standar resmi di seluruh dokumen pemerintah, buku pelajaran, hingga penamaan tempat. Ejaan seperti "Tokyo" akan menjadi baku menggantikan versi "Toukyou" dalam Kunrei-shiki. Bagi kebanyakan orang asing, perubahan ini mungkin tidak terasa, karena mereka sudah terbiasa melihat ejaan Hepburn. Namun secara nasional, ini merupakan langkah penting dalam menyelaraskan praktik domestik Jepang dengan kebutuhan komunikasi global yang terus berkembang.